04 November 2010

Aku Ibu Rumah Tangga dan Kepala Keluarga


"Indak ado nasi. Amak ndak batanak" itu yang dikatakan ibuku ketika melihatku tertegun menatap hidangan di balik tudung. 

"Baa tu?" tanyaku heran. Tidak biasanya seperti ini. Sesulit apapun kami, tidak pernah nenek membiarkan kami kelaparan seperti ini.

"Ndak ado pitih pambali bareh" begitu jawab ibuku lirih. 

Aku membisu mendengar jawabannya. Dadaku sesak. Tanpa berkata apa-apa, aku lantas mencari nenek yang kini tengah bergelung di sofa. Diam-diam aku menatapnya, tampak semakin renta dan sedikit gemetaran.

"Tadi siang lai makan?" kembali aku bertanya pada ibuku yang juga sama halnya dengan nenek. Gemetaran menahan lapar.

"Ndak ado doh. Yang tadi pagi tu se nyo"

Kerongkonganku langsung tercekat mendengarnya. Wajahku memanas. Dadaku semakin sesak. Bahkan senja hampir saja berlalu, tapi mereka rela menahan lapar demi meninggalkan segumpal nasi untuk kumakan sepulang kerja.

Aku tak bisa menahan tangis ketika langkahku bergegas menuju rumah makan. Bayang-bayang menyakitkan di masa lalu kembali menggelinding di depan mataku.

Dulu, setelah ibuku menderita sakit dan papa meninggalkanku, nenek yang menjagaku. Membiayai dan melengkapi kebutuhanku. Termasuk makanku. Setiap Senin ia berjualan pisang ke pasar. Sehabis Subuh ia berangkat dan biasanya pulang sebelum aku berangkat sekolah. 

Sebelumnya dia juga sudah menyiapkan sarapan untukku dan kedua kakakku. Segumpal nasi dan sambalado ikan asin. Setiap hari kami (terpaksa) makan itu. Ketika waktu panen kelapa tiba, bolehlah sesekali kami makan enak. Ikan atau tahu goreng.

Kami hanya makan 2 kali sehari dengan porsi yang sangat sedikit. Miris memang, meski begitu kami tidak pernah benar-benar merasa kelaparan. Banyak cemilan yang dibuat nenek untuk pengganjal perut. Ya rebus pisang, ubi kayu bahkan biji palawija. Semua biasa kami makan.

Kami berjuang dari saat-saat tersulit itu. Saat dimana, sesuap nasi terkadang berkuah air mata. Saat aku hanya bisa menggigit jari ketika teman-teman membeli sebatang ice cream. Dalam hati aku selalu berkata, kelak, aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi.

Namun sekarang, tanpa sadar aku sudah mengabaikan janji itu. Keterlaluan. Bisa-bisanya aku membiarkan kedua perempuan itu menderita. Seharusnya aku sadar, mereka sudah terlalu renta untuk mengurus semuanya. Seharusnya ini adalah waktu baginya bersenang-senang. Membaca buku, mengaji, sholat, bermain bersama cucu bahkan sudah seharusnya mereka menunaikan ibadah haji.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Nenek masih memikirkan mau makan apa? Dapat uang darimana? Bagaimana memperbaiki rumah? Setiap hari hanya ada keresahan. Dan ibu, penyakitnya tidak kunjung sembuh. Seumur hidup dia harus minum obat penenang.

"Ko bareh untuk dimasak bisuak pagi. Bisuak wak bali tambahannyo. Kini wak makan nasi bungkuih se lah dulu" Aku mengangsurkan seliter beras pada ibu dan sebungkus nasi dan lauk.

"Balanjo beko habis pitih kau" gumamnya pelan. Aku menatap lirih pada perempuan itu. Sampai saat ini, mereka masih memikirkan aku, sudah saatnya aku yang memikirkan kebahagian mereka.

"Ndak usah dipikian. Wak baru habis gajian" jawabku sambil melongos menyembunyikan air mata.

Untuk yang kesekian kalinya aku berusaha kuat dengan cobaan yang Tuhan beri padaku. Setidaknya dengan ini, Dia masih terus mengingatkanku untuk berbakti pada orang tua. Bahwa mungkin saat ini aku adalah Ibu Rumah Tangga sekaligus Kepala Keluarga bagi kedua perempuan tuaku.

Aku ikhlas, namun kuatkan aku Ya Allah....

Pariaman, 03 November 2010
Kebisuan dipenghujung senja

14 komentar:

non inge mengatakan...

mengharukan ceritanya T.T

ah... bagaimanapun keadaan orang tua mereka pasti masih memikirkan kita, bagaimana dengan kita... >.<

ah... jadi inget orang tua yang sekarang jauh... >.<

Alil mengatakan...

wit bikin alil nangis...

Unknown mengatakan...

begitulah pengorbanan orang tua untuk kita. tapi kita sering lupa pada mereka.

dwina.net mengatakan...

maaf mau nanyu dulu
ini kisah kamu sebenarnya ya..??
kalo iya
tetap semangat ya..
jalani semua dengan sabar
ikhlaskan semuanya dan tetap berjuang untuk kedua perempuan yang tentunya sangat kamu cintai

ah kita ga jauh beda ternyata.

salam kenal dari bintangair...

duniaira.blogspot mengatakan...

ASLI, TERINSPIRASI ATAAAAAAUUUU???
hhmmmmm rumahnya baru juga ya?

Vera mengatakan...

Begitulah kasih ibu...sepanjang masa...selalu mikirin anaknya dulu..sementara kita?

Uni, salam kenal ya. Ayahku asalnya jg dr pariaman.

Vera
vera.alishashop.com

Suratman Adi mengatakan...

Met mlm mba,berkunjg ke tmpt mu.Lam knl aq dah follow blog ini.

Lily Simangunsong mengatakan...

mengharukan sekali ceritanya uni, jadi pelajaran berharga bagi ku akan pentingnya jasa ibu dan semua org yang slalu ada dalam masa2 dihidup kita.

Hoeda Manis mengatakan...

Dialog-dialog itu, bahasa Pariaman, ya? Senang kalau membaca blog ada bahasa-bahasa daerah gitu. Bagus sekali postingmu!

BTW, indahnya pagi selalu menjelang setelah melalui malam yang paling gelap...

De mengatakan...

@ Inge : itulah bedanya orang tua sama kita. dia akan terus memikirkan gimana anaknya. mungkin akan sama halnya klo ntar kita jadi orang tua. semoga kita jg seperti itu. amiin...

@ alil : Maaf...tandanya cerita wit menyentuh hati alil, ya?? hehe...thanks ya...

De mengatakan...

@ bintangwina : kebetulan ini memang ceritaku. true story.
^_^ thanks ya. salam kenal lagi buatmu..

@ mbak ira : makasih, mbak. iya nih, coba gonta-ganti temple biar sesuai ama perasaan. hehe...

@ Vera : YUp. Mom always the best...
salam kenal lagi dari Pariaman. Ayahnya di Pariaman bagian mana? Pariaman laweh lho...Aku selatan, dekat pintu masuk kota. :p

@ wong sikampuh : siang...makasih udah follow. aku mampir ke sana ya...

@ Lily : terimakasih, lily. senang bisa menuliskan cerita yang menginspirasi. sering2 berkungjung ya...

@ Hoeda Manis : Yup. itu bahasa Minang. Makasih ya, sudah sudi berkung ke sini. Postinganmu juga bagus2... :D

Abdul Malik mengatakan...

meskipun kurang mengerti bahasanya, masih tetap bisa menangkap jalan ceritanya,,
nice,,

Anonim mengatakan...

touching and inspiring.
Tetap semangat ya, Uni Des ^^

ohya, terimakasih atas kunjungan dan komentarnya di blog saya. kalau berkenan, sila mampir lagi :)

Ewi mengatakan...

mbakk,, ceritanya bikin pengen nangis,, T_T
chaiiyyo yah mbak,,