16 Maret 2012

Takdirku. Takdirmu


Wonderful Praha
Kau bilang 3 hari lalu habis dari Prague. Sekarang sudah sampai di Vienna. Tempatnya Einstein dulu berada.

Kau menceritakan bagaimana perasaanmu ketika menginjakkan kaki di kota tua itu. “It’s hard to don’t say I fall in love with Prague. What a  beautifull country. You should be here.” Katamu waktu itu.

“Ya, I wish I could there someday!” itu jawabku sambil tertawa.

Kau tak tahu ya, bagaimana aku tergila-gilanya pada kota itu. Well, aku memang belum pernah ke sana. Tapi aku pernah melihat gambar-gambarnya pada sebuah artikel di majalah harian, kemudian menjadi sering karena mulai mencarinya di google. I fall in love at the first time.

“Aku menghabiskan waktu berjalan-jalan di Old Town, lalu berhenti di Charles Bridge—memandang orang-orang yang lalu lalang menikmati indahnya landscape di sana. Kastil-kastil kuno itu menarik perhatianku. Sangat klasik dan elegan. Tata kotanya, Indonesia tertinggal jauh.”

Apa kau sempat melihat jam tua itu? Prague Astronomical Clock. Impianku ingin melihat jarumnya berputar lalu mendengarkan dentangannya yang khas. Aku memang suka yang antik-antik. Nilai historisnya lebih tinggi. Aku bahkan sering membayangkan semua jam-jam terkenal di dunia dikumpulkan, mana yang paling unik. Prague Astronomical Clock, Big Ben Inggris. Well, Indonesia punya Jam Gadang yang bisa disejajarkan.

“Pertengahan abad 18 Mozart berkelana keliling Eropa mencari dan mengumpulkan simfoni-simfoni indah yang tersebar berserakan tak beraturan. Kemudian Mozart menciptakan simfoni yang luar biasa sewaktu menetap di ViennaAustria. Aku pun sekarang berada di sini. Berharap bisa mencuri sedikit inspirasi, mungkin bisa ku bawakan sebagai oleh-oleh untukmu di sana. Dan aku juga akan ke Universitätsbibliothek Wien. Universitas tempat Albert Einstein menimba ilmu dan meneliti. I can’t believe that.”

Ada tanda titik dua dan sebuah lengkungan di depannya—kutulis ketika membaca kata-katamu.

Kita manusia sudah menggenggam takdirnya masing-masing, dear. Kau dan takdirmu berjalan-jalan di Eropa sana. Berkunjung dari satu negara ke negara lain. Merasakan empat musim yang berbeda. Menikmati bahasa yang beragam pula. Tentunya warna rambut, mata dan kulit orang-orang yang kau temui juga berbeda kan? Kau dan takdirmu menjadi stranger di luar sana. Sementara aku dengan takdirku cukup mengikutimu beranjak dari titik yang satu ke titik yang lain. Menikmati cerita-cerita yang kau tawarkan sebagai teman minum teh. Membayangkan aroma-aroma musim dalam setiap perjalananmu, sesekali berkomentar dengan bahasa inggris yang terpatah-patah. Haha…pernah juga kuselipkan satu dua bahasa asing yang juga kau kuasai. Paling sering kata “Danke”, sebagai ucapan terima kasih karena kau tak pernah pelit membagi kedua matamu untukku melihat bagaimana indahnya dunia diluar sana. Well, sesekali kita juga sering bercakap-cakap dengan bahasa ibu kita. Satu-satunya bahasa yang bisa kita nikmati bersama tanpa kendala. Bahasa Minang.

Itu takdirku selalu. Selain mengikuti perjalananmu, takdirku tak pernah berlari dari meja sepanjang 1 meter dengan 2 buah computer versi terbaru di depan mata dan kertas-kertas plus angka-angka yang berkeliaran di atas meja. Aku dengan takdirku tak bergeser dari kursi putar yang well, harus ku akui tidak empuk lagi.

Ya, kita sudah menggenggam takdir masing-masing. Dengan jalan, waktu dan tempat yang berbeda. Satu-satunya persamaan takdir yang kita genggam hanyalah sedikit masa lalu dan hari ini. Masa depan? Entahlah. Dan aku yakin, kau tak perlu repot-repot menjadi Einstein untuk mencari tahu takdirmu dimasa depan. Cukup syukuri saja apa yang berlalu di hari kemarin dan saat ini.

By the way, kau ingat kapan terakhir kali kita bertemu? 7 tahun lalu? 5 tahun? 8 atau 11 tahun yang lalu? Mungkin 8 tahun yang lalu ya? Karena rasanya aku pernah bertemu denganmu 8 tahun yang lalu. Maksudku—aku yang melihatmu. Pagi hari kira-kira pukul sembilan di halte bis. Waktu itu kau sedang asik mengobrol dengan temanmu. Aku bisa menangkap sekilas pembicaraanmu. Berkisar tentang tugas-tugas kuliah, teori-teori dan rumus-rumus yang tidak kupahami. Kau tampak serius dengan kemeja dan ransel besarmu itu.

Kemudian aku ingat kapan terakhir kali pernah bertemu denganmu. Di Koperasi sekolah. Tempat takdir mempertemukan kita. Saat itu aku sedang berkemas-kemas—menghitung, merapikan dan membersihkan barang-barang yang seharian ku”tunggui”. Itu hari terakhirku bertugas di sana karena esoknya kita akan mengikuti ujian akhir. Disudut lain kau juga sama sibuknya denganku. Menunduk, mengotak-atik kalkulator dengan cepat dan menuliskan sesuatu di kertas. Tampak serius.

Kau selalu seperti itu. Menunduk dan hanya sesekali mengangkat wajah. Aku maklum dengan hal itu. Kau gila membaca sama sepertiku. Tapi terkadang aku juga bisa mendengar suara musikmu dari tempatku berdiri. Kebanyakan lagu Balad angkatan 90-an.

Kau jarang tersenyum apalagi berbicara. Sekali tersenyum itu disertai dengan perubahan di kedua pipimu. Haha…kau pemalu rupanya! Dan kami, siswi-siswi dari sekolah putri ini sering kali menggodamu. Betah sekali rasanya nongkrong di sana jika ada kamu. Kami seperti melihat manusia tersesat di dunia vampire. Kau yang jadi manusianya.

Hari itu takdir kedua kita. Aku melihat wajahmu sekilas di beranda rumah seorang teman. Sedikit pangling, tapi aku tahu itu kau. Dan rasanya aku seperti kembali ke 11 tahun sebelum itu.

Memang kita telah ditakdirkan untuk mengenggam takdir yang berbeda. Kau beranjak ke ujung sana dan aku tetap berada disini. Kau dengan takdirmu melalang buana ke kota-kota impian diluar sana—bertemu orang-orang berbeda setiap saat.

Dan aku dengan takdirku tidak beranjak dari kubikel berukuran 24 cm x 12 cm dengan sebatang pena sebagai kuncinya. Aku dengan takdirku menulis tentang cerita apa yang masih jelas kuingat dari kamu.

Tidak ada yang disesali dengan memiliki itu semua….

12/01/2012
Insp by. Bayu van Adam




2 komentar:

TS Frima mengatakan...

saya larut bacanya :)

De mengatakan...

@Ra-Kun : Hehe...berasa berada disana kah? :p