04 Februari 2010

Belajar Budaya : Randai

Akhirnya pelajaran Muatan Lokal dimasukkan kembali ke dalam kurikulum. Jadi siswa bisa kembali diajarkan mengenai kesenian-kesenian tradisional lokal. Dengan begitu mereka bisa lebih mengenal kebudayaan daerah masing-masing. Apalagi pengenalan itu bukan lagi dengan pemberian teori-teori di kelas, tapi sudah mempraktekkannya langsung di alam terbuka.

Seperti yang ku lihat hari ini, karna tempat kerja ku dekan dengan sebuah SMA favorite di Pariaman, aku bisa melihat seorang guru mengajarkan tarian tradisional kepada siswanya. Randai namanya. Asik deh, pengen rasanya balik ke sekolah dan belajar apa saja mengenai Minangkabau. Dulu aku nggak pernah belajar tari seperti randai atau semacamnya. Ada sih waktu SD belajar Tari Pasambahan, Tari Indang dan Tari Rantak, itu pun bukan termasuk mata pelajaran, tapi cuma ekstrakurikuler dan untuk pementasan acara perpisahan saja. Waktu itu, aku nggak pernah ketinggalan masuk group tari, kata mereka aku lincah dan cepat menguasai gerakan dan aku selalu berada di posisi paling tengah. Karna aku kecil kali ya. Hihi...

Balik ke Randai tadi, aku mau kasih info sedikit mengenai tarian randai ini. Yach, nambah-nambah ilmu mengenai kebudayaan, daripada nggak tahu sama sekali, yang nantinya malah jadi diklaim lagi sama negeri tetangga. 

Randai dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu, dimana dalam randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Konon kabarnya ia sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan Padang Panjang ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusayang keluar dari lau. Biasanya Randai dimainkan pada perayaan pesta, seperti pernikahan, pengangkatan penghulu, atau pada hari besar tertentu.

Teater tradisi bertolak dari sastra lisan, begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut: Kaba (dapat diartikan ”cerita”) BAKABA artinya bercerita. Ada dua unsur pokok yang menjadi unsur Randai: PERTAMA, unsur penceritaan, yang diceritakan adalah kaba, dan dipaparkan/disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu, yang sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu: salung, rebab, bansi, rebana, atau yang lainnya. KEDUA, unsur laku dan gerak atau tari, yang dibawakan melalui gelombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau,dengan berbagai variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.

Kehidupan budaya masyarakat minangkabau, dapat tercermin dari pertunjukkan Randai, baik dialog yang diucapkan yang penuh dengan pantun dan syair serta prosa liris yang berupa untaian bait yang masing-masing bait umumnya terdiri dari empat baris, dua baris berisi sampiran, sedangkan dua lainnya berisi maksud yang sebenarnya. Dalam pertunjukkan Randai hal itu meskipun tidak terlalu ketat namun masih terasa bahwa mereka menyadari perlunya bait-bait tersebut untuk menjaga irama-irama pertunjukkan agar sesuai dengan gurindam dan dendang yang ada.

Pertunjukkan Randai umumnya dilakukan di alam terbuka, dalam bentuk arena dan tidak memakai panggung. Rakyat penonton dan pertunjukkan menjadi satu. Pertunjukkan Randai tidak memakai dekor, dan tidak ada batas antara pemain, penonton dan pemain musik. Karena terasa sangat akrab, mereka tahan menonton dari jam delapan malam sampai subuh pagi.

Randai tumbuh benar-benar dalam lingkungan masyarakat kebanyakan, karena dalam struktur masyarakat Minang tidak membedakan golongan dalam masyarakat yang ada. Randai sekaligus menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari. Sesuai dengan petatah-petitih Minangkabau yang berbunyi: ”Kesenian Minang Mambusek dari Bumi dan Manitik Dari langik”.

---

Info ini ku tulis sebagai Black In News untuk Djarum Black Blog Competition Vol.2. Nggak nyambung sih, cuma pengen berbagi. Kali aja ntar di setiap eventnya Djarum Black tertarik buat ngadirin Randai sebagai penghibur. Yach, sebagai modifikasi hiburan lah, bukan cuma motor aja yang bisa dimodifikasi. Setuju nggak? Hihi...ngasal banget deh. 

--Dicopas dari berbagai sumber--

7 komentar:

Unknown mengatakan...

wah, wkt sekolah dulu gak ada eskul nari nih.

richo mengatakan...

lestarikan budaya bagus banget tuh.... sebelum tarian tradisional berubah jadi tarian ajeb ajeb

De mengatakan...

@ mbak fanny :
ya kan masih SD mbak, jarang2 ada yang eksulnya. kebetulan ditempat aku ada, jadinya bisa belajar nari deh

@ richo :
hihi...gimana ya, kalo tarian tradisional dijadikan ajeb2, pasti kacau banget ya gerakannya?

Syifa Ahira mengatakan...

dulu waktu masih smp, aku masih sering liat pementasan randai.. tapi sekarang udah raib entah kemana.. para muda mudi lebih tertarik untuk mengadakan pentas terbuka yang diisi dengan organ tunggal.. hmm.. turut pihatin dengan kelestarian budaya kita wit.. mudah2an dengan adanya mata pelajaran mulok lagi bisa menanamkan budaya ke generasi muda..

De mengatakan...

@ syifa :
yup semoga saja begitu
jadi budaya kita nggak terkikis oleh masuknya budaya luar yang nggak terfilter dengan baik

Anonim mengatakan...

Wah.. harus belajar nih... soalnya pacarku berasal dari tanah minang sih.. gak lucu kan kalo disuruh tari randai malah jaipongan...hihihi

sobekan mengatakan...

rancai memang menarik ya..