Ini hanya segelintir kisah yang terjadi
dijalanan—ketika kita mau melihat sekitar dan berkenalan dengan orang asing.
Bisa jadi ia akan berlalu dengan cepat tanpa meninggalkan apa-apa, atau malah ia
akan mewariskan pelajaran berharga bagi hidup kita.
Semoga bisa mengambil hikmahnya.
*****
Cuaca di luar masih menyengat meski waktu
sudah menunjukkan pukul empat sore. Geliat pedagang kaki lima kembali memenuhi
jalan sekitar Permindo sampai Pasar Raya. Tenda-tenda terpasang berjejer bahkan
sampai memenuhi badan jalan hingga merampas hak pejalan kaki. Sorak-sorei
pedagang kaki lima sahut bersahutan, menambah ramainya suasana. Para pembeli
berebutan memilih baju-baju murah yang ditawarkan. Banyak yang mengeluh, banyak
juga yang menikmati pemandangan tersebut. Yang pasti, beginilah kehidupan
rakyat yang sering disebut “jelata”.
Sejenak saya ikut larut dalam suasana itu
sebelum akhirnya berlalu. Rocky Plaza adalah tujuan utama saya, namun tidak
untuk berbelanja atau cuci mata. Hanya numpang singgah di bilik ATM. Beberapa
detik saya di sana untuk menguras tabungan sebelum akhirnya keluar dengan
kening mengkerut (cukup tahu aja lah tandanya apa).
Dari sana saya mampir ke beberapa tempat
untuk membeli jus wortel dan beberapa potong black forest. Kemudian saya memutuskan untuk pulang, karena
lama-lama main di pasar bisa menyebabkan gangguan jiwa karena ngebet pengen
beli apa aja sementara duit cekak banget. Hahaha…
Sebelum naik angkot saya menyempatkan diri
lagi mampir ke penjual pisang panggang dan lompong sagu, sambil menunggu
pesanan melirik lagi ke penjual tahu isi. Karena lapar plus ngiler serta napsu
akhirnya saya beli semuanya. Lalu dengan senyum puas saya akhirnya pulang naik
angkot.
Saat baru saja mendudukkan diri di dalam
angkot, ketika seorang nenek di depan saya lantas berkata.
“…paruik
amak sakik. Alun makan dari pagi lai.” (perut nenek sakit, belum makan dari
pagi).
Saya menatap nenek itu sejenak, lantas tanpa
banyak kata memberikan sebungkus pisang panggang yang saya idam-idamkan tadi.
Nenek itu menerima dengan senyum dan mengucapkan banyak terima kasih. Lantas ia
memakannya dengan cepat.
Saya terenyuh melihatnya. Beberapa penumpang
memperhatikan kami dan memandangi nenek dengan curiga.
Saya maklum. Bahkan saya pun mengakui
sedikit merasa curiga dengan si nenek. Jaman sekarang banyak sekali modus
seseorang untuk mendapatkan belas kasihan. Tidak cukup dengan menipu, bahkan
rela menjual kekurangan dirinya untuk mendapatkan uang.
Saya maklum. Saya pun juga ingat pernah
ditegur seorang teman.
“…lo baik banget sih. Orang kayak gitu lo
kasihani. Mengiba-iba biar dikasih duit. Mana ada orang yang tahan nggak makan.
Mana ada orang yang nggak punya duit hari gini…”
Kadang, saya ikut terpengaruh dengan
perkataan yang seperti itu. Namun saya tidak dapat menghindarkan diri bahwa
rasa iba lebih besar dari kecurigaan saya. Ini soal nurani. Perihal tolong
menolong, biarkan nurani yang bicara.
Hal itu yang saya rasakan kepada si nenek.
“…amak
tadi pai ka rumah kawan mamintak hutang. Kironyo inyo ndak ado. Amak pai dari
pagi lai. Alun makan setek alah e lai. Tadi tajatuah di tolong dek anak sikola.
Pitih duo ribu nyo untuak ongkos oto.” (nenek
tadi ke rumah teman untuk meminta hutang. Ternyata dia tidak ada. Nenek pergi
dari pagi. Belum makan sama sekali. Tadi sempat terjatuh lalu ditolong sama
anak sekolahan. Duit cuma punya dua ribu untuk bayar angkot), ujar si nenek
terbata-bata.
Saya mendengar ceritanya dengan prihatin.
“Baa
kok amak pai sorang se? Anak amak ndak ado?” (kenapa
nenek pergi sendiri? Anak nenek nggak ada?) tanya saya penasaran.
“Lai
ado anak amak. Tapi jauah di Pakanbaru. Amak tingga sorang.
(anak nenek ada. Tapi jauh di Pekanbaru. Nenek tinggal sendiri.)
“Kok
amak ndak dibawok dek anak amak? Tu makan amak baa? Sia yang masak?
(kok nenek nggak dibawa sama anak nenek? Trus makan gimana? Siapa yang masak?).
“Lai
amak di bawoknyo tapi amak ndak dicauahannyo, jadi amak pulang se lai. Makan
lai. Karano amak tingga sorang. Ado urang dakek rumah yang maagiah makan
taruih. Tadi lai disuruah nyo amak makan mah, tapi amak nio pai lakeh mintak
hutang. (nenek pernah diajak sama anak nenek untuk
tinggal bersama tapi nenek nggak diurusin, jadi nenek pulang saja. Karena nenek
tinggal sendiri, ada orang dekat rumah yang sering memberi makan. Tadi nenek
ditawari dulu makan sebelum berangkat, tapi nenek pengen cepat pergi minta
hutang.)”
Si nenek bercerita dengan mata berkaca-kaca.
Berkali-kali saya melihatnya menggeleng-geleng lalu menarik napas seperti
berusaha menabahkan hatinya.
Batin saya tersentuh mendengar ceritanya.
Tenggorokan saya tercekat.
Melihat sosok nenek itu, saya lantas
teringat dengan nenek saya yang sudah meninggal. Saya ingat ketika nenek saya
ditabrak motor dan terjatuh lalu ditinggal begitu saja. Untung ada seorang
tukang ojek yang mengenali dan membawanya pulang. Saya teringat juga dengan
nenek saya yang sering pergi sendiri untuk menemui anaknya tanpa sepengetahuan
kami. Melihat semrautnya Kota Padang saat ini, saya yakin waktu itu nenek saya
pernah tersasar, hanya saja ia mungkin bertemu orang baik yang mau menunjukinya
jalan pulang atau tujuan.
Saya seperti disadarkan. Mungkin disituasi
yang sama, nenek saya juga akan berkicau seperti orang sakit jiwa atau sama
mencurigakannya seperti nenek di depan saya. Kalau tidak ada orang baik yang
mau membiarkan nuraninya bicara, apalah nasib nenek saya waktu itu.
Terlepas dari jujur atau tidak jujurnya
seseorang, pada saat ia meminta, saat itu jugalah pertolongan terjadi dan soal
tolong menolong, biarkan saja nurani yang bicara. karena kalau sedikit saja
pikiran ikut bicara, keraguan akan memudarkan niat.
Nenek yang duduk di depan saya itu kira-kira
berumur 70an. Tubuhnya sedikit bungkuk dan tertatih. Memakai sandal karet
berwarna biru dan tas kain berwarna pink.
“…ko
amak bawok kain sumbayang mah. Matahuan baa baa dijalan, lai kain untuk
disalimuikan (ini nenek bawa kain sholat. Siapa tahu
terjadi apa-apa di jalan, ada kain yang bisa menyelimuti).”
Saya tersenyum mendengarnya. Kecurigaan saya
hilang seketika.
Seorang cewek di samping si nenek
menyelipkan uang lima ribuan ke tangan si nenek dan disambut dengan
berkali-kali ucapan terima kasih.
“amak
kini ka pulang kama mak? (nenek sekarang mau pulang
kemana?)” tanyaku akhirnya.
“amak
pulang ka taluak. Naiak oto di pasa tu ndak? Untuang ado pitih untuk ongkos
diagian anak tadi tu. (nenek mau pulang ke Teluk
Bayur. Naik angkotnya di dekat pasar itu kan? untung ada ongkos dikasih anak
tadi).”
Saya kembali tersenyum. Wajah si nenek kali
ini tidak selesu tadi. Tapi saya sempat mendengar sendawa si nenek berkali-kali
dan saya tahu itu bukan sendawa kekenyangan tapi karena masuk angin belum
makan.
Saya lantas mengangsurkan jus yang sedari
tadi ragu-ragu ingin saya berikan. Nenek itu menolak, karena ia tidak kuat
meminum es. Saya maklum. Lalu saya menggantinya dengan menyelipkan sedikit uang
dan sekantong tahu isi yang saya beli tadi. Nenek itu lebih membutuhkan
daripada saya.
Dengan mata berkaca-kaca ia mengucapkan
terima kasih dan bersyukur.
Tidak lama, ia turun dan berjalan menuju
angkot tujuan Teluk Bayur. Kakinya diseret penuh perjuangan. Saya yakin, itu
efek dari terjatuhnya tadi.
Dari balik kaca saya memandanginya dengan
perasaan sedih. Bagaimana jika yang dijalan itu nenek saya. Atau Ibu saya. Atau
Kakak saya. Atau mungkin saya nanti kalau sudah tua. Entahlah apa yang terjadi.
Meski saya yakin masih banyak orang baik di dunia ini yang mau menolong, tapi
tetap saja perempuan setua itu tidak pantas lagi berada di jalanan. Berjuang
untuk mencari sesuap nasi. Berjuang untuk bertahan hidup.
Dalam hati saya hanya berdoa. Doa yang setiap
hari saya mohonkan kepada Tuhan untuk nenek saya.
“Ya, Allah. Jika saya tidak bisa
membahagiakan nenek di dunia, bahagiakan ia disisi-Mu Ya Allah. Bahagiakan ia
dengan cara-Mu. Aamiin…”
Untuk nenek itu, semoga ia selalu bertemu dengan orang baik.
Padang,
21 Juni 2014

1 komentar:
setuju,kalau dalam tolong menolong itu biarkan hati yang bicara,, :D
Posting Komentar