@Lapangan Imam Bonjol, Padang. 11.13
Hai, apa kabarmu siang ini? Di sana masih pagi tentunya ya? Pagiku tidak sebaik biasanya. Rasa jenuhku mengalami titik puncaknya. Aku terpaksa meninggalkan semua kepenatan itu di rumah. Aku meninggalkan cucian yang menumpuk di sudut kamar mandi. Piring-piring kotor di depan pintu. Setrikaan yang mengeriting seperti sampah di atas kasur.
Aku melarikan diri akhirnya setelah dari kemarin kutahan untuk tidak menghilang. Oh ya, Ibu kos akhirnya mengundangku untuk datang ke upacara pernikahan putrinya 2 jam sebelum acara dilangsungkan. (apa karena merasa tersindir sebelumnya?).
Aku terpaksa bohong pada keluarga untuk tidak pulang karena kuliah, juga pada teman-teman kos yang berharap bisa pergi bersama ke acara pernikahan itu. Aku memang tidak kuliah hari ini, karena jadwal kuliahku baru dimulai minggu depan.
Sebenarnya aku ingin pulang, tapi aku tak tahu ada kekuatan apa yang menahahan langkahku di sini. Sebagian hatiku terasa kosong. Rasanya ingin menangis tapi tak bisa dan akupun tak tahu bagimana bisa dan karena apa?
Tidak ada yang mau kuajak karokean apalagi sekedar menemaniku melarikan diri. Mereka sudah ada acara masing-masing. Janji dengan seseorang. Huh, aku iri. Aku lupa, kapan terakhir kali aku membuat janji berhari minggu dengan seseorang (yang spesial mungkin?). Apa kabar mingguku yang selalu habis tanpa disadari? Sekali disadari, Senin pun sudah menyapa. Kali ini aku mencoba mengingat-ingat, apa yang pernah terjadi dengan minggu-mingguku selama ini.
Baru-baru ini ada satu kata asing yang mengakrabiku. “ABNORMAL”. Apa karena perasaanku yang tidak menentu? Atau karena aku terlalu mendramatisir keadaan? Mungkin aku sedang tidak waras dan ketidakwarasan itu membuat hidupku lebih tenang.
Aku memperhatikan wajah-wajah orang di sekitarku. Di angkot, ada wajah letih sehabis berbelanja di pasar. Wajah cemas mahasiswa yang mungkin terlambat kelas minggu. Lalu wajah tenang tanpa beban. Lalu apa yang mereka lihat dari diriku? Wajah galau ala abege, kah? Atau wajah linglung seorang yang abnormal.
Aku menyusuri jalan-jalan kenangan tempat aku biasa melarikan diri—menghabiskan waktu dengan kesendirian.
Aku melintasi kantor pos. Masih ada orang-orang yang tak menyerah dan tak berhenti untuk berharap. Hampir setahun yang lalu, aku masih menjadi bagian dari mereka, bersyukur, masa-masa sulit itu sudah lewat.
Menyusuri jalanan teduh di sekitar SMA Don Bosco. Aku ingin mengunjungi taman bacaan kecil di depannya. Koleksi-koleksi bapak tua itu membuatku terkagum-kagum. Aku merasa beruntung seseorang pernah memperkenalkan tempat itu padaku. Sayangnya, tempat itu tidak terisi lagi. Entah kemana taman bacaan itu perginya. Pindah ataukah benar-benar mati. Atau terjadi sesuatu pada si bapak tua?
“Kau catat saja, buku apa yang mau kau pinjam?”
“Tanpa jaminan, pak?”
“Jaminan? Ah, sudahlah. Aku percaya padamu”
Aku ingat percakapan kami waktu itu. Hanya dilandasi rasa percaya, aku bisa membawa setumpuk bacaan pulang.
Tidak ada tempat itu lagi sama halnya dengan Perpustakaan Daerah yang kini menjadi puing-puing tak berbentuk. Tidak ada tempat lagi yang nyaman untuk melarikan diri.
Lalu akhirnya aku teringat tempat ini. Memang tidak ada buku-buku, tidak ada musik melankolis, tidak ada tempat duduk yang empuk atau karpet yang licin. Hanya ada rumput-rumput hijau tak terawat. Sampah-sampah bertebaran. Ada orang di setiap sudutnya. Sendiri-sendiri. Berpasangan. Ataupun bersama-sama.
Aku sengaja memilih tempat di bawah tiang besar menghadap ke lapangan besar tempat orang-orang bermain bola. Ada sepasang kekasih tidak jauh dari tempatku duduk. Yang kudengar mereka tidak bicara tentang cinta. Hanya bersekedar bicara meski tanpa tema. Apa benar mereka pasangan? Entahlah. Yang kulihat mereka tampak bahagia.
Beberapa kali penjaja kue, menawarkan dagangannya padaku. Telur asin, kacang rebus, bakwan, asinan dan berbagai minuman kaleng.
“Terima kasih, bu. Saya sedang tidak ingin mengemil.”
Aku hanya ingin menulis di sini sembari mendengarkan lagu-lagu favorit dari ponsel genggamku. Ah, sepertinya itu tidak akan bertahan lama. Baterainya sudah memerah.
Aku teringat suara pengamen jalanan tadi. Dengan gitar akustik di tangan, ia memetik dan berdedang tanpa beban. Oh, suaranya begitu tenang begitu juga dengan wajahnya. Tidak kalah tampan dari Ariel yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Sepertinya selembar ribuan tidak pantas kuberikan untuknya. Kendati sedikit ia sudah membuat hatiku mulai damai.
Hei, sudah berapa lama aku di sini? Orang-orang sudah mulai menghilang. Lapangan sudah kosong, taman-taman mulai terkena panas, tidak banyak yang lesehan dengan tikar di rumput. Tapi aku masih disini. Masih harus menyelesaikan catatan yang tidak berjudul ini.
Apa kabarmu di siang ini? Sedang menjelajahi kota-kota asing itukah? Apa hari minggumu menyenangkan?
Aku sebenarnya iri padamu. Di kota ini aku hanya bisa berjalan beberapa kilo yang aku mampu. Backpackeran sendiri? Kemana? Apa ada orang yang mengerti bahwa kadang kala seseorang ingin menghabiskan waktunya sendiri—mendatangi tempat-tempat yang indah lalu menikmatinya sendiri. Di sini tidak ada yang seperti itu. Kalau kau sendiri, maka kau terlihat aneh. Kadang aku ingin tak perduli apa yang mereka bicarakan. Tapi nyatanya, aku menyimpan kata-kata itu dalam benakku. Betapa kesepiannya aku.
Aku tidak perduli dengan penampilan. Bahkan dengan umur yang mendekati “tua” pun seolah tidak berarti lagi kini. Masa-masa 17an sudah lewat dan setelah itu, hanya masa-masa ketika kau butuh hidup dan terus berjalan maju.
Hari ini aku memakai stelan yang tidak matching. Temanku bilang, ini terlalu preman. Tapi what ever. Aku hanya ingin mengenakan ini. Celana gunung yang kubeli sebulan yang lalu terasa nyaman dipakai daripada jeans yang kancingnya sudah tanggal karena mamakainya terburu-buru. Beberapa jam yang lalu aku sudah mempersiapkan dress biru bermotif batik di atas kasur. Rencananya akan mengenakannya untuk acara pernikahan anak ibu kos, sayangnya yang kukenakan kali ini malah kaos putih bertuliskan I LOVE PARIAMAN dengan cardigan abu-abu diluarnya. Aku merindukan pulang jadinya.
Tak terasa sudah 4 lembar halaman kuhabiskan. Jarum jam di pergelangan tangankupun mulai merangkak pelan-pelan. Sudah jam 1. Artinya sudah 3 jam aku disini. Orang-orang mulai memperhatikanku. Mulai penasaran dengan apa yang kutulis. Selangkah dua langkah mereka mendekatiku, melirik diam-diam pada laptop dipangkuan. Atau sekedar menatapku bertanya-tanya, “Apa perempuan ini wisatawan yang sedang menuliskan cerita petualangannya? Atau wartawan?”
Ah, mereka mau tahu saja. Ya, aku memang orang asing yang tersesat ke tempat kumuh ini. orang asing yang rela duduk lesehan bersama sampah-sampah penjaja makanan yang tidak bertanggung jawab akan kebersihan. Aku juga wartawan yang sedang menulis cerita untuk dibaca oleh orang-orang yang ingin membacanya.
Hohoho…ada manusia tak tahu malu disini. Seenaknya kencing di antara bunga-bunga yang sedikit rimbun. Hey…kau sebagai seorang lelaki yang sudah matang, di mana malumu? Di mana jiwa kepemimpinanmu? Kenapa memberi contoh yang tidak baik bagi generasi muda yang ada di sini. Nah, itu juga. Di depanku seorang ibu-ibu juga membiarkan anaknya kencing sembarangan padahal tak jauh dari tempatnya ada ruangan dengan tulisan yang dibold tebal, TOILET.
Saya mengerti, kenapa generasi muda sekarang tidak perduli dengan lingkungannya? Kenapa tidak ada rasa malu dan menghormati sesama. Karena tidak ada lagi contoh yang baik yang seharusnya mereka dapatkan. Tidak ada yang mengajarkan kebaikan sedini mungkin. Ah, aku segan, budaya malu sudah menipis di negaraku.
Hei…waktu sepertinya sudah benar-benar beranjak. Perutku mulai terasa lapar. Sebaiknya aku mencari makanan dulu sembari melihat-lihat, mungkin saja ada tempat nyaman lainnya untuk aku melanjutkan catatan tentang minggu ini.
Ya, sudah. Terpaksa kumatikan laptop, memasukkanya ke ransel dan menyampirkannya ke bahu. Ugh, terasa berat dan mengesalkan, penitipan tas itu menyuruhku untuk terus membawanya.
Sampai nanti ya. Aku masih akan menceritakan tentang minggu ini padamu. Tunggu saja, aku sedang lapar.