Tampilkan postingan dengan label Learning. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Learning. Tampilkan semua postingan

07 Mei 2013

Tentang : Pengabdian



Kalau kau berkata, “apa lagi bentuk pengabdianmu kepada bangsa dan negara jika kau tidak aktif berorganisasi dan bersosialisasi?”

Saya akan menjawab, “buat saya mengabdi itu adalah menginspirasi. Bukan arogansi.”

Saya tidak tahu, kau mengerti atau tidak. Tapi saya hanya bilang, jangan meremehkan orang-orang yang berada di balik layar, mereka mengajar di pelosok daerah—yang tak terjamah jasanya oleh pers, mereka yang hanya tahu bagaimana makan memenuhi kebutuhan lambung pagi dan malam.

Pemulung, tukang sapu jalanan, nelayan,petani. Apa mereka tidak pantas disebut abdi bangsa? Apa karena mereka tidak duduk dalam ruangan, mendengar teori-teori tentang pentingnya berbuat sesuatu, berprestasi—tidak pantas dibilang mengabdi untuk bangsa? Coba bayangkan, apa jadinya negara ini tanpa mereka? Jalan-jalan penuh sampah, sampah-sampah tidak bisa didaur ulang, orang-orang tidak bisa makan ikan, tidak bisa makan nasi, mungkin banyak hal lagi yang tidak akan ada di Indonesia ini tanpa mereka.

Dan jangan mengira kamu yang aktif berorganisasi, bersosialisasi, meeting,brefing, training keliling Indonesia bahkan luar negeri—bisa menunjukkan bahwa kau benar-benar mengabdi untuk Indonesia? I don’t think so.

Setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk mengabdi pada negara ini. Tidak harus dengan cara seperti yang kau bilang “berorganisasi” itu, tapi seperti hal-hal kecil yang dilakukan oleh para nelayan dan petani itu tidak ada salahnya juga, kan?

Pengabdian adalah cara bagaimana kau bisa menginspirasi orang-orang, menggerakkan nurani seseorang tanpa mengumbar-umbar apa-apa saja yang sudah kau lakukan untuk negara.

Simple.
Tidak perlu keliling dunia untuk itu,kan?

Mungkin, pengabdian juga berarti kau benar-benar menguasi passion-mu dan bertanggung jawab atasnya.

Saya sebagai pegawai bank, dia sebagaiguru, kamu sebagai LSM, mereka sebagai pers, petani, nelayan, pemulung, sebagai wakil rakyat bahkan sebagai presiden. Saya rasa semua sudah punya tugas masing-masing ya?

Jadi, Down to earth, kawan. Tak perlu meremehkan apa yang dilakukan orang lain. Karena, arogansi hanya akan membuatmu jauh dari tujuanmu.


Padang, 06 Mei 2013
Untuk seorang teman



17 Oktober 2012

Tentang Gadai Part II


“Diak, mintak den pitih Rp200.000,-. Pitih den lah habis bana. Lah barahari ko indak karajo.”

“Jadih. Beko wak ambiakan pitih ka ATM dulu yo.”

Beberapa jam kemudian.

Abang saya tersenyum sembari melipat 2 lembar 100 ribuan itu ke dalam dompetnya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia berlalu dari hadapan saya.

Sambil menatap punggungnya saya berbisik pelan, “Abang nggak tahu, bahwa saya baru saja menggadaikan cincin saya untuk mendapatkan uang itu.”

Tapi saya tidak pernah mengatakan itu pada siapapun, bahkan keluarga. Ada sesuatu dalam hati kecil saya yang memberi pengertian, bahwa menjadi anak paling bungsu itu nggak selalu harus merasa kecil. Bersabarlah, maka kau akan menjadi dewasa.

Jadi, tidak ada kesedihan saat itu. Hanya perasaan lega dan haru, betapa menyenangkan bisa menggaris senyum di wajah orang lain.  






Tentang Gadai Part I


“Dek, Surat Keterangan Bebas NAPZA mana?”

“Lho, mbak. Bukannya itu diberikan kalo udah lulus, ya?”

“Bukan. Syarat itu diberikan pada waktu pendaftaran.”

“Yach, saya belum punya, mbak!”

“Kalo gitu saya belum bisa memproses pendaftaran kamu karena persyaratannya belum lengkap. Kamu bisa kembali lagi kalo persyaratannya sudah lengkap. Masih ada beberapa hari lagi kok.” Sambil tersenyum wanita itu mengembalikan berkas-berkas pendaftaran saya.

Saya keluar dari kantor BMG dengan tertunduk lesu. Jauh-jauh menempuh perjalanan hanya untuk menyerahkan berkas-berkas supaya bisa mengikuti Tes CPNS BMG. Nyatanya meski datang paling awal, saya juga yang harus keluar lebih awal karena belum memenuhi persyaratan.

Hari itu saya pulang ke rumah dengan kepala berkedut-kedut. Banyak pertanyaan berseliweran dibenak saya. Apa? Dimana? Bagaimana caranya?

*****

Dokter baru saja bilang bahwa biaya administratif untuk pengurusan Surat Keterangan bebas NAPZA adalah sebanyak Rp65.000,-. Tidak banyak memang. Tapi bagi saya saat itu, seperti membayar tagihan dengan ratusan dollar. Saya tidak punya uang sebanyak itu.

*****

“Semuanya Rp225.000,-“ Tanpa banyak meminta saya mengangguk tanda menyetujui penawaran itu.

“Baik. Tolong tanda tangani di sini dan ini uangnya.” Dengan gemetar dan dilingkupi perasaan sedih, saya menandatangani surat itu. Jumlah yang tidak seberapa itu kemudian berpindah ke tangan saya.

Nggak ada yang tahu, bahwa hari itu saya menggadaikan kalung pemberian paman untuk mengurus Surat Keterangan NAPZA. Itu saya lakukan agar bisa mendapatkan selembar nomor Tes CPNS BMG.

Nggak ada yang tahu bahwa saya baru bisa menebusnya 1 tahun kemudian—setelah saya mendapat pekerjaan pertama saya.

Semua orang tahu bahwa saya gagal dalam tes itu. Namun nggak ada yang tahu bahwa saya baru saja berhasil memperjuangkan mimpi saya—meski hanya sebatas lembar nomor ujian.

Saya berjuang dari hal kecil yang mungkin menurut generasi 2000an sekarang, adalah sesuatu yang memalukan. Tapi bagi saya, untuk sebuah cita-cita nggak ada kata menyerah bahkan memalukan. Mungkin saya boleh menggadaikan harta, namun tidak untuk mimpi-mimpi saya.

Mimpi itu adalah pilihan yang benar. Jadi berjuanglah.




23 September 2012

Catatan Terakhir Tentang Hari Minggu




@Taplau, 17.45

Perjalananku selanjutnya berhenti di pinggir laut jalan samudera. Taplau kami biasa menyebutnya. Tempat kita menghabiskan sore pada masa lalu. Kita. Ya, kita. Aku dan kenanganku.

Matahari berwarna orange, lebih tepatnya kuning keemasan ya? Ombak tidak begitu besar, namun deburannya cukup menggetarkan batinku.



Tepian itu penuh dengan sampah. Tidak ada orang-orang bermain voli pantai seperti halnya di tepi pantai di Pariaman—kampung halamanku. Ah, abrasi mengikis daratan perlahan-lahan.  

Oh ya, aku terpaksa menulis dengan buku catatanku kini. Baterai laptopku sudah menunjukkan angka 5%. Sepertinya ia sudah tidak berenergi lagi untuk mengikuti perjalananku yang masih terus berlanjut. Terpaksa ia harus tinggal di dalam ransel pengap itu.

Kali ini aku tidak akan menulis panjang-panjang, hanya menggambarkan apa yang kulihat disekitarku.

Ada pria aneh duduk tak jauh dari sebelahku. Entah turis atau penduduk asli. Penampilannya seperti backpacker. Tapi dia bukan bule. Mungkin seorang petualang.


Aku memesan mie goreng dan sebotol teh dingin. Sambil terus menulis sesekali aku menggulung mie dan menyuapnya ke mulut. Hmmm…hari ini aku mengabaikan kolesterol yang menggila ditubuhku. Tidak apa-apa, kan Ibu dokter? Hari ini saja kok! 

Sunset kali ini tidak seperti biasanya. Aku tidak bisa menikmatinya tenggelam dibatas cakrawala. Awan kelabu menenggelamkannya terlebih dahulu. Langit seolah redup. Mungkin akan turun hujan malam nanti. Sebaiknya aku bergegas menelan mie gorengku. Lalu beranjak pulang.

Tidak ada golden sunset hari ini. 






Masih Tentang Minggu





@Museum Adityawarman, 14.43


Masih tentang hari minggu.
Setelah makan di warung nasi ampera yang kutak tahu namanya, akhirnya aku melanjutkan perjalananku—mencari tempat yang nyaman untuk menulis.

Sebelumnya aku sempat melintasi jalan Permindo yang orang bilang Malioboronya kota Padang. Aku tak tahu apa benar-benar mirip. Aku belum pernah ke sana, namun punya harapan besar untuk berkunjung kesana. Ya, itu impianku. Datang ke Jogjakarta.

Ada banyak keriuhan disini. Mulai dari penjual sepatu yang bersemangat membujuk para shopaholic, cekikikan muda-mudi yang asik nongkrong maupun berjalan kaki, dan musik-musik asik yang diputar oleh penjual kaset bajakan. Ganggam style dan lagu-lagu Noah sepertinya sedang menjadi hits.

Tiba-tiba terlintas di benakku tempat itu. Tempat yang belakangan sering ditinggalkan dan terlihat sepi. Dengan bersemangat, kulangkahkan kaki menuju tempat itu.



“Selamat datang di Musem Adityawarman! Silahkan mengisi buku tamu.”

Saat memasuki tempat itu seorang pemuda menyapaku dengan hangat. Dengan senyumnya yang ramah, ia mempersilahkanku mengisi buku tamu, meminta identitas serta saran untuk pengembangan museum ini.

“Mungkin promosinya lebih ditingkatkan lagi, Uda. Trus bikin even-even menarik yang bisa dinikmati pengunjung selain melihat-lihat koleksi.”

Selanjutnya akupun berkeliling. Sempat terharu, ternyata masih banyak minat orang-orang berkunjung ke sini--melihat-lihat peninggalan sejarah dan kebudayaan Minangkabau.



Aku sempat memotret beberapa koleksinya dan tugu-tugu simbol perjuangan masa lalu. Oh, aku baru tahu apa kepanjangan PADANG itu. Nanti deh, kuperlihatkan fotonya.


Ada beberapa pemuda bermain gitar di depanku. Serta beberapa pasang muda-mudi duduk tak jauh dari tempatku berada. Aku tidak merasa iri lagi dengan kesendirianku. Kata orang hidup itu untuk dinikmati, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Jadi aku hanya melirik mereka sesekali sambil ikut bersenandung bersama.

Sebelum menulis lagi, kusempatkan mencek e-mail dan inbox facebookku. Dan ternyata banyak pemberitahuan. Baik itu sekedar permintaan pertemanan maupun komen-komen status. Mataku berhenti pada kalimat-kalimat yang dituliskan temanku dibawah cerita yang kupublish beberapa jam yang lalu. Satu persatu air mataku tumpah. Finally. Mendung itu akhirnya menjadi hujan. Ternyata langit masih menyimpan warna-warni pelangi yang sudah kulupa seperti apa bentuknya. Aku tersenyum. Untuk kesekian kalinya merasa lega. Beban dikepalaku terbang entah kemana.

“You’re never walk alone, de.”  




Hahaha…ada pesta di gereja dekat museum. Backsoundnya terdengar sampai ke sini. Mungkin pernikahan atau acara-acara lainnya yang aku tidak tahu. Yang kudengar banyak lagu-lagu batak dinyanyikan. Aku tak mengerti, yang kumengerti ada gelembung-gelembung bahagia di udara—menemani perjalananku.  

Masih ditemani petikan gitar pemuda diseberangku, aku membayangkan wajah-wajah teman lama. Anak-anak UKS yang dulu sering menghabiskan malam-malam bersamaku. Memetik gitar, memandang bintang-bintang dan makan ikan bakar bersama. Teringat juga dengan acara bakar-bakarnya yang berantakan karena salah satu dari kami kerasukan makhluk halus. Apa kabar kalian? Masihkan ingat momen-momen penuh kenangan itu? Rindu kalian sangat.



“Dek, bisa ambilkan fotonya?” 

Hahaha…aku baru saja meminta seseorang untuk memotretku. Still narsis. Look! Ada gadis-gadis mencoba berpose ala chibi-chibu. Nice. Dan itu, ada bapak narsis yang minta difotokan anaknya yang mungkin masih berusia 5 tahun. So funny. Dan mereka, pasangan serasi itu. “Ingat hari ini ya, beb.” Hahaha….ada bahagia dimana-mana.

Banyak kenangan yang berpendar di sini. Di sudut rumah adat itu, di taman, di sela-sela rangkiang, di dekat pelaminan, atau bersama penjual sate dan makanan lainnya. Di sini juga, di bawah pohon kelapa tempat aku dan ransel serta laptopku yang sedang menulis tentang kenangan.



Hari Mingguku kali ini luar biasa. Aku tidak pernah merasa sepuas ini setelah menulis. Sampai sesore ini langkahku tidak bisa dihentikan jemariku masih sama gesitnya dengan angkutan yang lalu lalang di jalanan sana. Aku bertemu banyak manusia. Berpasang-pasang kekasih, sekumpulan muda-mudi, penjaja makanan, pengemis, pengamen jalanan, para pencari kerja, shopaholic, pemburu momen dan sebagainya. 

Aku disini memperhatikan mereka satu persatu, mencoba mereka-reka isi kepalanya, menggambarkan apa yang ada di mimpinya atau sekedar membantu mereka mengekspresikan apa yang tak bisa dimengerti oleh orang lain.

Aku di sini melihat, mendengar dan merasakan bahwa ada banyak bahagia bertebaran di sekitarku—andai aku mau sedikit saja lebih dekat. Tidak ada yang benar-benar sendiri sebenarnya—andai aku mau mengakui. Dalam hidup terkadang kita mencari penyalahan sendiri atas apa yang tidak kita mengerti. Menyalahkan perasaan. Menyalahkan keadaan. Menyalahkan kesendirian.

Benarkan, tidak ada yang salah dalam ke-abnormalanku?  

….dan mungkin untuk itulah hari ini Tuhan menggerakkan langkah dan pikiranku—berkelana ketempat-tempat di mana aku bisa belajar dari hal-hal sederhana.



Lain kali aku akan berjalan tanpa terburu-buru. Aku akan lihat sekeliling. Barangkali ada yang bisa kupelajari darinya.

Hei, apa kabarmu senja? Masihkah kau menyimpan golden sunset untukku? Tunggu, aku akan mengabadikanmu disana.

“….teruslah berjalan, de.”







Tentang Hari Minggu





@Lapangan Imam Bonjol, Padang. 11.13

Hai, apa kabarmu siang ini? Di sana masih pagi tentunya ya? Pagiku tidak sebaik biasanya. Rasa jenuhku mengalami titik puncaknya. Aku terpaksa meninggalkan semua kepenatan itu di rumah. Aku meninggalkan cucian yang menumpuk di sudut kamar mandi. Piring-piring kotor di depan pintu. Setrikaan yang mengeriting seperti sampah di atas kasur.  

Aku melarikan diri akhirnya setelah dari kemarin kutahan untuk tidak menghilang. Oh ya, Ibu kos akhirnya mengundangku untuk datang ke upacara pernikahan putrinya 2 jam sebelum acara dilangsungkan. (apa karena merasa tersindir sebelumnya?).

Aku terpaksa bohong pada keluarga untuk tidak pulang karena kuliah, juga pada teman-teman kos yang berharap bisa pergi bersama ke acara pernikahan itu. Aku memang tidak kuliah hari ini, karena jadwal kuliahku baru dimulai minggu depan.

Sebenarnya aku ingin pulang, tapi aku tak tahu ada kekuatan apa yang menahahan langkahku di sini. Sebagian hatiku terasa kosong. Rasanya ingin menangis tapi tak bisa dan akupun tak tahu bagimana bisa dan karena apa?

Tidak ada yang mau kuajak karokean apalagi sekedar menemaniku melarikan diri. Mereka sudah ada acara masing-masing. Janji dengan seseorang. Huh, aku iri. Aku lupa, kapan terakhir kali aku membuat janji berhari minggu dengan seseorang (yang spesial mungkin?). Apa kabar mingguku yang selalu habis tanpa disadari? Sekali disadari, Senin pun sudah menyapa. Kali ini aku mencoba mengingat-ingat, apa yang pernah terjadi dengan minggu-mingguku selama ini.

Baru-baru ini ada satu kata asing yang mengakrabiku. “ABNORMAL”. Apa karena perasaanku yang tidak menentu? Atau karena aku terlalu mendramatisir keadaan? Mungkin aku sedang tidak waras dan ketidakwarasan itu membuat hidupku lebih tenang.

Aku memperhatikan wajah-wajah orang di sekitarku. Di angkot, ada wajah letih sehabis berbelanja di pasar. Wajah cemas mahasiswa yang mungkin terlambat kelas minggu. Lalu wajah tenang tanpa beban. Lalu apa yang mereka lihat dari diriku? Wajah galau ala abege, kah? Atau wajah linglung seorang yang abnormal.

Aku menyusuri jalan-jalan kenangan tempat aku biasa melarikan diri—menghabiskan waktu dengan kesendirian.

Aku melintasi kantor pos. Masih ada orang-orang yang tak menyerah dan tak berhenti untuk berharap. Hampir setahun yang lalu, aku masih menjadi bagian dari mereka, bersyukur, masa-masa sulit itu sudah lewat.

Menyusuri jalanan teduh di sekitar SMA Don Bosco. Aku ingin mengunjungi taman bacaan kecil di depannya. Koleksi-koleksi bapak tua itu membuatku terkagum-kagum. Aku merasa beruntung seseorang pernah memperkenalkan tempat itu padaku. Sayangnya, tempat itu tidak terisi lagi. Entah kemana taman bacaan itu perginya. Pindah ataukah benar-benar mati. Atau terjadi sesuatu pada si bapak tua?

“Kau catat saja, buku apa yang mau kau pinjam?”
“Tanpa jaminan, pak?”
“Jaminan? Ah, sudahlah. Aku percaya padamu”

Aku ingat percakapan kami waktu itu. Hanya dilandasi rasa percaya, aku bisa membawa setumpuk bacaan pulang.

Tidak ada tempat itu lagi sama halnya dengan Perpustakaan Daerah yang kini menjadi puing-puing tak berbentuk. Tidak ada tempat lagi yang nyaman untuk melarikan diri.

Lalu akhirnya aku teringat tempat ini. Memang tidak ada buku-buku, tidak ada musik melankolis, tidak ada tempat duduk yang empuk atau karpet yang licin. Hanya ada rumput-rumput hijau tak terawat. Sampah-sampah bertebaran. Ada orang di setiap sudutnya. Sendiri-sendiri. Berpasangan. Ataupun bersama-sama.

Aku sengaja memilih tempat di bawah tiang besar menghadap ke lapangan besar tempat orang-orang bermain bola. Ada sepasang kekasih tidak jauh dari tempatku duduk. Yang kudengar mereka tidak bicara tentang cinta. Hanya bersekedar bicara meski tanpa tema. Apa benar mereka pasangan? Entahlah. Yang kulihat mereka tampak bahagia.

Beberapa kali penjaja kue, menawarkan dagangannya padaku. Telur asin, kacang rebus, bakwan, asinan dan berbagai minuman kaleng.

“Terima kasih, bu. Saya sedang tidak ingin mengemil.”

Aku hanya ingin menulis di sini sembari mendengarkan lagu-lagu favorit dari ponsel genggamku. Ah, sepertinya itu tidak akan bertahan lama. Baterainya sudah memerah.

Aku teringat suara pengamen jalanan tadi. Dengan gitar akustik di tangan, ia memetik dan berdedang tanpa beban. Oh, suaranya begitu tenang begitu juga dengan wajahnya. Tidak kalah tampan dari Ariel yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Sepertinya selembar ribuan tidak pantas kuberikan untuknya. Kendati sedikit ia sudah membuat hatiku mulai damai.

Hei, sudah berapa lama aku di sini? Orang-orang sudah mulai menghilang. Lapangan sudah kosong, taman-taman mulai terkena panas, tidak banyak yang lesehan dengan tikar di rumput. Tapi aku masih disini. Masih harus menyelesaikan catatan yang tidak berjudul ini.

Apa kabarmu di siang ini? Sedang menjelajahi kota-kota asing itukah? Apa hari minggumu menyenangkan?

Aku sebenarnya iri padamu. Di kota ini aku hanya bisa berjalan beberapa kilo yang aku mampu. Backpackeran sendiri? Kemana? Apa ada orang yang mengerti bahwa kadang kala seseorang ingin menghabiskan waktunya sendiri—mendatangi tempat-tempat yang indah lalu menikmatinya sendiri. Di sini tidak ada yang seperti itu. Kalau kau sendiri, maka kau terlihat aneh. Kadang aku ingin tak perduli apa yang mereka bicarakan. Tapi nyatanya, aku menyimpan kata-kata itu dalam benakku. Betapa kesepiannya aku.

Aku tidak perduli dengan penampilan. Bahkan dengan umur yang mendekati “tua” pun seolah tidak berarti lagi kini. Masa-masa 17an sudah lewat dan setelah itu, hanya masa-masa ketika kau butuh hidup dan terus berjalan maju.

Hari ini aku memakai stelan yang tidak matching. Temanku bilang, ini terlalu preman. Tapi what ever. Aku hanya ingin mengenakan ini. Celana gunung yang kubeli sebulan yang lalu terasa nyaman dipakai daripada jeans yang kancingnya sudah tanggal karena mamakainya terburu-buru. Beberapa jam yang lalu aku sudah mempersiapkan dress biru bermotif batik di atas kasur. Rencananya akan mengenakannya untuk acara pernikahan anak ibu kos, sayangnya yang kukenakan kali ini malah kaos putih bertuliskan I LOVE PARIAMAN dengan cardigan abu-abu diluarnya. Aku merindukan pulang jadinya.

Tak terasa sudah 4 lembar halaman kuhabiskan. Jarum jam di pergelangan tangankupun mulai merangkak pelan-pelan. Sudah jam 1. Artinya sudah 3 jam aku disini. Orang-orang mulai memperhatikanku. Mulai penasaran dengan apa yang kutulis. Selangkah dua langkah mereka mendekatiku, melirik diam-diam pada laptop dipangkuan. Atau sekedar menatapku bertanya-tanya, “Apa perempuan ini wisatawan yang sedang menuliskan cerita petualangannya? Atau wartawan?”

Ah, mereka mau tahu saja. Ya, aku memang orang asing yang tersesat ke tempat kumuh ini. orang asing yang rela duduk lesehan bersama sampah-sampah penjaja makanan yang tidak bertanggung jawab akan kebersihan. Aku juga wartawan yang sedang menulis cerita untuk dibaca oleh orang-orang yang ingin membacanya.

Hohoho…ada manusia tak tahu malu disini. Seenaknya kencing di antara bunga-bunga yang sedikit rimbun. Hey…kau sebagai seorang lelaki yang sudah matang, di mana malumu? Di mana jiwa kepemimpinanmu? Kenapa memberi contoh yang tidak baik bagi generasi muda yang ada di sini. Nah, itu juga. Di depanku seorang ibu-ibu juga membiarkan anaknya kencing sembarangan padahal tak jauh dari tempatnya ada ruangan dengan tulisan yang dibold tebal, TOILET.

Saya mengerti, kenapa generasi muda sekarang tidak perduli dengan lingkungannya? Kenapa tidak ada rasa malu dan menghormati sesama. Karena tidak ada lagi contoh yang baik yang seharusnya mereka dapatkan. Tidak ada yang mengajarkan kebaikan sedini mungkin. Ah, aku segan, budaya malu sudah menipis di negaraku.

Hei…waktu sepertinya sudah benar-benar beranjak. Perutku mulai terasa lapar. Sebaiknya aku mencari makanan dulu sembari melihat-lihat, mungkin saja ada tempat nyaman lainnya untuk aku melanjutkan catatan tentang minggu ini.

Ya, sudah. Terpaksa kumatikan laptop, memasukkanya ke ransel dan menyampirkannya ke bahu. Ugh, terasa berat dan mengesalkan, penitipan tas itu menyuruhku untuk terus membawanya.

Sampai nanti ya. Aku masih akan menceritakan tentang minggu ini padamu. Tunggu saja, aku sedang lapar.   



26 Agustus 2011

Let's start again. Forget the past

Magical July.
Suatu hari saya mendapatkan kalimat itu dari sebuah gambar di site We Heart. Benar apa tidak, saya sempat berharap untuk bertemu magical july seperti yang ditulis di gambar itu. Entah kenapa, padahal kalimat itu seperti sebuah dongeng saja. Mustahil ada kan? Tapi saya benar-benar menunggu setiap detik dibulan itu.

Saya tahu itu hanya kalimat. Saya tahu jika berharap banyak, saya pasti akan kecewa. Dan benar, saya kecewa. Menjelang akhir July nenek saya mengalami kecelakaan dan harus dirawat dirumah sakit selama 10 hari. Efeknya, saya harus meninggalkan "little job" saya itu. Meski dalam hati saya menangis dan kecewa berat, tapi saya berusaha ikhlas demi kesembuhan nenek. Karena tidak ada seorangpun yang menjaga nenek selain saya.

Siang malam saya bertahan dirumah sakit yang lebih terasa seperti penjara bagi saya. Saat itu saya seperti terasing dan kesepian. Tapi, lagi-lagi saya mencoba bertahan. Dalam hati saya selalu berbisik, "...Sabarkan aku Ya Allah".

Saya selalu mendengar orang-orang mengatakan, "....terkadang Allah memberikan kebaikan dalam kesukaran." atau ada juga yang bilang, "...terkadang pertolongan Allah itu datang di akhir. Ketika kita benar-benar sudah berputus asa dan memasrahkan semua kepada-Nya." 

Memang, saat itu saya merasa benar-benar sudah lelah dan berputus asa. 3 tahun yang pernah saya perjuangkan terasa sia-sia. Saya merasa malu tidak bisa membantu keluarga. Nasib seperti mengiyakan umpatan mereka.

"...percuma kamu kuliah! Ngabisin duit aja!"

Kalimat itu kerap saya dengar dari mereka, baik itu dalam gumaman atau cecaran secara langsung. Ah, betapa saya seperti terlihat sebagai "sampah" saja.

Tapi, tanpa disangka-sangka kejutan itu akhirnya datang juga. Allah memberikan hadiah yang luar biasa untuk penantian dan kesabaran saya selama ini. 

Waktu itu hari ke 3 dibulan Ramadhan. Menjelang Magrib saya mendapat sms dari seorang teman.

"Kak, udah baca pengumuman?"

Awalnya saya sempat merasa takut untuk melihat pengumuman itu. Ya, takut saya gagal lagi dan membuat saya dan keluarga semakin kecewa. Tapi dihinggapi rasa penasaran, saya akhirnya pasrah juga. 

Apapun hasilnya, saya sudah berusaha.

Entah keberapa kalinya kalimat itu saya ucapkan. Ratusan bahkan ribuan.

Selamat, Anda telah berhasil lulus dari seluruh rangkaian tes dan wawancara.

Seperti tak percaya, saya kembali mengulang memasukkan nomor pendaftaran saya. 2 kali berturut-turut. Hasilnya tetap sama. Finally, I got it.

Saya sujud syukur dan menangis terharu. Akhirnya saya mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang mungkin nantinya bisa menopang beban hidup keluarga saya. Pekerjaan untuk masa depan saya. Pekerjaan yang tidak lagi membuat paman saya "malu". Pekerjaan yang untuk sebagian orang sedikit lebih "berkelas".

Dari segi kacamata, jelas pekerjaan yang baru saya dapatkan dengan pekerjaan saya sebelumnya sangat berbeda jauh. Gaji 100 % lebih besar. Kehidupan yang lebih baik. Jaminan masa depan yang menyenangkan. Tapi buat saya, berkerja itu sama saja. Apapun pekerjaannya, asalkan dicari dengan cara halal, dilakukan dengan sungguh-sungguh, pasti juga akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Intinya soal kesabaran dan kerja keras. Soal bonus, itu bisa menyusul. Benarkan?

Saya dulu sempat dihina sedemikian rupa karena pekerjaan saya yang hanya seorang penjaga warnet. Dipergunjingkan sana-sini. Bahkan kata-kata itu masih bisa saya lafalkan dengan jelas.

"Kami malu dengan perkerjaanmu itu! Tidak ada harga diri"

Apa yang akan kau jawab ketika keluarga yang kamu harap bisa menyemangatimu malah menamparmu telak dengan hinaan? 

I have no idea. Saat itu saya hanya bungkam. Air mata jatuh satu satu. Saya tidak berkata-kata, tapi hati saya berontak, menjerit dan mendendam. Meski saya memaafkan perlakukan paman saya itu, tapi saya tidak pernah melupakan kata-kata itu. Dia sudah dibold dengan tinta merah dalam ingatan saya--dan saya selalu bisa mengingatnya dengan jelas.

But, who cares!
Akhirnya hari ini saya bisa mengucapkan kalimat itu tanpa berbeban. Saya sudah peduli lagi dengan ucapannya. Saya sudah buta dengan hal-hal seperti itu. 

Saya hanya ingin membuka lembaran baru hidup saya. Ingin mengulang catatan harian dari awal. 05 September 2011. Sepertinya tanggal itu bisa menjadi awal dari metamorfosis hidup saya. Saya berharap bisa terlahir kembali hari itu--melupakan kepahitan masa lalu. Meninggalkan sesak hari kemarin. Melepas kepenatan hati. Mulai melangkah pelan-pelan dari garis START.

...ini demi Ibu. Demi Nenek. Demi Kakak. Demi masa depan. Dan demi Berkah Ramadhan yang diberikan Tuhan kepada saya... 

Terima kasih untuk hadiah-Mu ya Allah...  

12 Juli 2011

Di Surau itu saya belajar

Mushala. Mesjid. Untuk apa dibangun?

Adakah orang yang tega mencuri di tempat seperti itu?
Belakangan saya mulai mengalami hal-hal menyebalkan ketika berniat untuk sholat di Mushala atau mesjid. Bukan karena tempatnya, tapi karena pengurus yang nggak tahu bagaimana "mengurus". 

Bagaimana tidak? Belum aja 1 jam kelar sholat Zuhur, pintu mesjid/mushala sudah tertutup rapat (baru menjelang sholat Ashar dibuka kembali begitu seterusnya). Nggak ada jalan lain untuk masuk ke dalam untuk sholat bahkan sekedar mengambil air untuk wudhu. 

Saya heran? Kenapa bisa seperti itu? Bahkan saking menyebalkannya, saya sampai menitikkan air mata. Miris melihat hal-hal yang seharusnya tidak terjadi malah sering terjadi.

Nggak jarang juga, bahkan saya harus mengantri di depan pintu tempat wudhu laki-laki karena yang perempuan (lagi-lagi) dikunci rapat. Sekali lagi saya heran, untuk apa? Memangnya ada yang mencuri di tempat wudhu?

Saya kerap mengalami hal seperti ini, nggak hanya dengan Mushala di dekat rumah atau tempat kerja, tapi dalam perjalanan saya pun juga mendapatinya. Tak jarang bahkan sangat sering, hal seperti inilah yang membuat orang-orang jadi mudah meninggalkan sholat, meski ini bukan alasan tapi jujur saja memang kenyataan hal seperti ini bisa menjadi pemicu *pengalaman pribadi* :p

Mesjid/Mushala, sekarang bukan lagi tempat persinggahan bagi orang-orang yang membutuhkan tidak hanya untuk menunaikan ibadah tapi juga untuk melepas penat sejenak.

Saya lantas teringat dengan Surau kecil yang ada di samping rumah saya (sekarang sudah runtuh). Dulu, para penjual ikan keliling sering singgah disana untuk sholat dan istirahat sejenak. Meski hanya surau kecil, dulunya merupakan tempat anak-anak belajar mengaji yang diajar oleh nenek buyut saya. 

Seiring waktu, surau itu mengalami pelapukan. Satu persatu tiang dan atapnya mulai rusak. Meski demikian, tempat itu masih kerap disinggahi oleh penjual ikan keliling. Karena meski itu dulunya surau milik pribadi (karena didirikan oleh keluarga saya), tapi tempat itu selalu terbuka untuk siapa saja. Kami tidak pernah menutup rapat pintunya apalagi mengunci. Meski hanya ada tikar pandan kecil tergantung disudut ruangan, tapi selalu bisa menjadi alas ketika kami sujud. 

Surau kecil itu selalu membuat saya damai. Membuat saya bahagia ketika melihat orang-orang singgah dan bersujud disana. Setidaknya, kebiasaan orang-orang itu mengajarkan saya satu hal, bahwa dalam hidup, kita butuh beberapa saat untuk melepas lelah. Butuh sebuah tempat untuk menyandarkan kepenatan hati, yaitu kepada Allah SWT.

Sekarang, surau itu tidak ada lagi. Dan saya tidak pernah lagi melihat orang-orang dalam perjalanan singgah disana pun penjual ikan keliling itu. 

Seiring waktu, semua melapuk. Begitu juga dengan pandangan orang-orang tentang arti pentingnya sebuah rumah ibadah. 

22 April 2011

Selamat Hari Bumi, Temans



Gambar infrared bumi yang diambil oleh satelit 6 GOES pada tanggal 21 September 1986

Pemandangan laut di Pulau Bora-bora. Terletak sekitar 160 mil barat laut Tahiti dan sekitar 2.600 km selatan Hawaii, ditemukan pada tahun 1722, dan bisa di bilang pulau yang paling indah di dunia.

Gunung Roraima merupakan tempat yang luar biasa indahnya, terletak di Guyana di sudut tenggara Canaima 30.000 km Venezuela. Gunung batu ini berbentuk unik karena seperti permukaan meja yang berada di atas awan, tingginya 400 meter.

Hutan Bambu di Jepang

Perbukitan Lembah Anai - Sumatera Barat

Hutan Hujan Tropis

Hijaunya Persawahan 


Gambar ini hanya sedikit dari indahnya pemandangan-pemandangan yang ada di atas bumi ini. Sungguh, betapa beruntungnya kita pernah tinggal disini. Di planet biru yang paling cantik.

Maka dari itu, jagalah bumi tempat kita berpijak ini dengan baik, agar keindahannya bisa kita wariskan pada generasi muda mendatang. Jangan hanya mengingat 22 April sebagai hari bumi, tapi ingat juga kesadaran untuk menjaganya dengan lebih baik. 

Tidakkah kamu senang melihat hijaunya mengucap selamat pagi padamu? Mendengar ramainya burung-burung berkicau?
Bukankah terasa nyaman menghirup segarnya udara yang bersih? 
Jawaban ada padamu, temans.
Lebih baik terlambat, daripada tidak berbuat sama sekali untuk bumi tercinta ini. ^_^